Saturday, September 29, 2012

Melipat Senja

Siang-siang begini seharusnya saya tidak ingat kamu. Kamu seperti mentari, hangat, namun dapat membakar jika terlalu lama dirasa. Hujan saja enggan turun di teriknya hari ini. Tapi tetap saja saya mengingatmu. Pohon-pohon yang berjajar di sepanjang jalan ini masih sama hijaunya seperti pernah kita lalui dulu. Tunas-tunasnya yang hijau muda, dulu pernah sama-sama kita kagumi. Saya sering terpukau melihat gagahnya ranting-ranting pohon yang menjulang, dari kiri dan kanan, lalu ujungnya bersatu di tengah-tengah, membentuk lengkung raksasa, seakan menjadi kanopi jalan. Mengiringi perjalanan kita menuju ke pantai.

Menikah melewati jalan ini, dulu pernah saya impikan, supaya saya tetap bisa mendongak dan menikmati indahnya kanopi hijau, di atas mobil yang melaju pelan. Kemudian kamu menggenggam tangan saya erat, dan mengeluh kalau saya tidak sedang mendengar ceritamu dan lebih terpukau pada pohon-pohon itu. Cemburu, katamu. Saya terkekeh, bagaimana mungkin kamu cemburu pada pohon?  Atau karena pohon tak bisa bicara? Seperti saya yang selalu setia mendengarmu. Bagaimana rasamu tentang ini sekarang? Apakah masih sama seperti dulu?

Tadi di hijau toscanya air pantai, saya melihat bayangmu, terpantul di sana. Begitu jelas, lalu tersapu oleh buih putih gelombang, yang lari berkejaran. Dulu kita pernah berjanji, bahwa hati kita tidak boleh sama seperti ombak yang saling berkejaran. Ternyata saya memang tidak mampu berkejaran denganmu. Kamu terlalu cepat berlari, jauh di depan saya, mengejar impian-impianmu. Membuat jadwal-jadwal ketat, membuang yang lama mengganti yang baru. Sementara saya lebih suka berjalan pelan, menikmati segala yang ada, menyimpan yang berkesan, mensyukurinya. Kamu senang melakukan yang berbeda dengan pasir-pasir di pantai, membuat tulisan, kastil, mengubur badanmu sendiri, sementara saya lebih suka membaca buku sambil menikmati sejuknya angin pantai dan lembut pasir pantai. Lalu kita mulai sering bertengkar, untuk hal-hal sepele yang sebenarnya bisa kita rundingkan. Sampai suatu saat saya melihat bahwa kita seperti ombak di pantai itu, beriringan berkejaran namun tak pernah bertemu. 

Rasa itu bukan rasa marah, tapi rasa lelah. Lelah yang saya rasakan karena lebih dari cinta, bukan karena tak cinta. Lebih dari cinta membuat saya merasa rela. Rela membiarkanmu berlalu, mengejar semua mimpi. Lebih dari cinta, membuat saya tetap di sini, menemani dengan doa seorang sahabat semoga kelak kita berjumpa. Mungkin sunset bar adalah tempat yang sempurna untuk berjumpa lagi. Duduk berdua, di kursi tinggi yang memang hanya untuk berdua, di tepi pantai. Dua cangkir kopi, latte, kesukaan kita berdua, memandang mentari yang turun perlahan di batas cakrawala, menjadikan langit menjadi kejinggaan. Dahulu kadang saya melihat warna ungu di sana, yang tidak dapat kamu temukan. Lalu kamu  berkata, itu karena saya suka ungu, ungu itu tidak ada di sana. Saya pun terdiam, mungkin memang kita tak bisa melihat sesuatu dengan sama. Saya akan menyeruput kopi sembari mendengar kisah-kisahmu di antara suara deburan ombak. Sebelum mentari selesai mengucapkan selamat tinggal pada tepian pantai. Sebelum malam melipat senja, satu untukmu satu untuk saya. Saya akan terus mendengarmu, mengagumi kisahmu, sampai kita berjumpa lagi di kehidupan yang lain.


0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home