Saturday, October 13, 2012

Mencari yang tersembunyi

Mencari yang tersembunyi. Mencari yang hilang. Sama-sama mencari namun memberikan rasa yang berbeda jika dibayangkan. Mencari yang tersembunyi menimbulkan semangat, membuat kita ingin menemukan. Sementara mencari yang hilang menimbulkan perasaan cemas, kalau-kalau tidak menemukan. Menimbulkan kejengkelan, karena mungkin kita mencari sambil memaki-maki dalam hati, kenapa bisa kita kehilangan.

Mencari yang tersembunyi selalu membangkitkan gairah, semangat. Seperti yang terjadi pagi ini. Anak-anak bermain mencari telur paskah. Permainan ini bukan sekedar permainan, karena sebenarnya melalui permainan ini, mereka seang belajar menghargai tradisi umat beragama lain dalam merayakan hari besar keagamaan mereka yaitu hari paska. Senangnya menjadi anak-anak. Tidak ada prasangka dalam hati mereka, terutama yang bukan nasrani, bahwa mereka akan masuk neraka jika mengikuti permainan ini, seperti kelak ketika mereka dewasa mereka akan mempercayainya. Tidak semuanya, tapi mungkin sebagian. Saya sendiri berdoa, semoga tidak akan ada yang terperangkap dalam kebodohan semacam itu ketika mereka dewasa kelak.

Mata bidadari mereka sibuk menjelajah lapangan berumput, berusaha mencari telur-telur yang tersembunyi, di antara semak-semak dan rerumputan. Saya ikut merasa senang menyaksikan mereka berlari, dan ketika mendengar pekik kegirangan ketika melihat mereka menemukannya. Mencari yang tersembunyi, menimbulkan keyakinan bahwa mereka akan menemukan. Berbeda sengan mencari yang hilang. Belum-belum hati kita sudah patah, takut tidak dapat menemukannya. Kelegaan yang kita peroleh pun berbeda. Kelegaan saat menemukan yang tersembunyi disisipi oleh rasa kemenangan. Sementara kelegaan karena menemukan yang hilang, lebih pada kelegaan semata, mungkin sedikit perasaan damai karena lepas dari rasa takut kehilangan. Kelegaan penuh rasa kemenangan itulah yang tercermin di mata bidadari malaikat-malaikat kecil itu.

Anak-anak usia lima tahun bagi saya adalah semacam makhluk jelmaan malaikat. Saya seperti dapat melihat sayap-sayap kecil di punggung mereka. Mata bidadari yang jernih dan luas. Juga lingkaran kudus di atas kepala mereka yang berwarna keemasan, dengan percikan-percikan kemerlip debu peri. Tentu saja sayap-sayap itu akan hilang ketika mereka menjelang dewasa. Menyusut karena orang-orang di sekeliling mereka yang mematahkan impian dan keyakinan mereka bahwa mereka bisa meraih apa yang mereka inginkan. Mereka pelan-pelan akan kehilangan indahnya dunia dari mata mereka memandang sekarang. Itulah yang membuat saya senang bekerja dengan anak-anak, saya dapat kembali merasakan dunia yang indah itu melalui mata mereka. Mengingat kembali indahnya, melalui senyum tulus bahagia mereka.
 
Seperti pagi ini, saat mereka berlarian di bawah terik mentari, berusaha mencari yang tersembunyi. Saya dapat merasakan rasa bahagia yang perlahan menyelinap di hati, dan berubah menjadi senyum dan binar-binar di mata saya. Saya dapat melihat mereka yang percaya diri dapat menemukannya, dan mereka banyak menemukannya. Sementara mereka yang malas dan patah arang melihat temannya yang mendapat banyak, akhirnya berakhir dengan dua telur paskah dalam keranjang mereka. Malaikat-malaikat kecil ini sesungguhnya melakukan apa yang orang dewasa seperti kita sedang lakukan sekarang. Mencari yang tersembunyi, yaitu mimpi-mimpi, harapan-harapan, dan keinginan-keinginan kita. Sesungguhnya setiap hari kita sedang bermain mencari telur-telur mimpi yang tersembunyi di balik hari-hari yang kita lalui. Mereka yang penuh semangat, berbekal keyakinan akan menemukanlah yang akan dengan cepat menemukan bahwa mimpi-mimpi itu adalah nyata. Sementara mereka yang malas, skeptis, tak punya keyakinan dan ragu akan kemampuan dirinya hanya akan berlama-lama di semak-semak hari-hari yang berlalu dan hanya sedikit menemukan mimpinya menjadi kenyataan.

Hari ini saya bahagia bisa belajar mencari yang tersembuyi melalui malaikat-malaikat kecil saya. Saya berdoa kecil dalam hati, siang hari tadi, semoga mereka tidak akan kehilangan semangat samapi kelak dewasa. Terutama ketika, orang-orang di sekitarnya mulai perlahan-lahan mematahkan kepercayaan diri yang tumbuh di hati mereka. Saya ambil gambar salah satu telur paskah yang mereka temukan siang  tadi. Semoga kalian yang membaca, menemukan kembali semangat mencari mimpi-mimpi yang tersembunyi. Mungkin kalian akan merasakan bahwa sayap kecil yang sudah lama menyusut karena sakit hati, kecewa, marah, itu perlahan tumbuh lagi. Terbanglah, mencari mimpi-mimpi yang tersembunyi, jangan takut jatuh. Ingatlah bahwa kalian punya sayap yang menjaga kalian di ketinggian. Selamat mencari.

Saturday, October 06, 2012

Bizzare love triangle

Percayalah suatu saat saya akan kembali. Semua ini hanya sementara. Sementara menikmati yang tidak dapat kau berikan, di saat saya sedang membutuhkan. Sementara mencari jalan yang lain, daripada harus menghadapi pertengkaran lagi. Saya rasa kita tidak perlu saling menyakiti lagi dengan kata-kata. Itu hanya akan semakin menambah kebencian di antara kita. Begini saja lebih baik. Sepanjang kau tidak tahu apa yang sedang terjadi antara saya dengan dia. Percayalah hati saya hanya untuk kamu.

Kalau tiba-tiba satu persatu penyakit tumbuh di badan saya. Saya anggap itu hukuman, karena telah berkhianat. Mungkin ini balasan dari malaikat yang menjagamu, karena tahu cintamu terlalu banyak untuk saya dan anak-anak. Tapi untuk segera mengakhiri apa yang saya mulai dengan sembunyi-sembunyi penuh gairah, sungguh saya belum mampu. Toh nantinya saya akan kehilangan semuanya juga, jika kamu akhirnya tahu. Lalu saya dapat apa? Hanya penderitaan karena penyakit ini dan penolakan yang hanya akan membuat saya cepat mati. Dan saat membayangkan akan menerima itu, saya tidak rela.

Saya pikir, anak-anak cukup dewasa memahami semua yang saya lakukan. Mungkin mereka akan sebentar membenci saya. Namun mereka tidak akan sanggup menolak saya sebagai ibu yang melahirkan mereka. Mereka juga pasti akan iba, karena mereka tidak lama bersama saya di dunia. Sudah saya pelajari secara statistik, kesembuhan akan penyakit ini hanya sedikit. Jikalau pun kita bertahan, dengan susah payah kita harus bertahan hidup. Seperti kamu tahu saya dengan baik, saya tidak suka hidup menderita. Kamu tentu masih ingat, saya pernah bilang demikian, sebelum kita akhirnya menikah.  

Beberapa kali saya sudah hendak menyerah, kalau tidak ingat akan wajah anak-anak, dan semua harapan mereka akan saya. Tunggu, jangan berpikir bahwa laki-laki itu juga menjadi alasan saya untuk bertahan. Sudah saya bilang, cinta saya untukmu lebih banyak. Hanya dengan kamu saya jatuh cinta, seperti yang digambarkan di kartun-kartun. Yang berbunga-bunga, dengan hati merah jambu yang terpanah asmara. Itu dulu rasa saya tentangmu, hanya untukmu. Laki-laki itu tidak pernah membuat saya merasa demikian, meskipun mungkin dia merasa bisa membuat saya merasa berbunga-bunga. Dia hanya teman di saat sepi, saat kamu harus sibuk bekerja untuk membuktikan bahwa kamu adalah orangtua dan suami yang bertanggungjawab pada keluarga. Mungkin salah saya mengatakan padamu bahwa saya tidak ingin hidup menderita dalam kemiskinan. Mungkin itu yang akhirnya membuatmu bekerja berlebihan, agar saya dan anak-anak tidak menderita.

Saya sadar saya terlalu serakah, terlalu impulsif, terlalu takut akan tidak dapat lagi menikmati semua yang ada di dunia ini setelah mengetahui ada sesuatu yang menggerogoti saya dari dalam. Keyakinan itu berasal dari cerita sejarah keluarga, bahwa tidak ada yang bisa bertahan di atas usia 60. Dan saya percaya, saya pun demikian. Ibu saya meninggal karena penyakit gula di saat saya masih membutuhkannya, untuk curhat tentang pacar-pacar saya. Tante saya meninggal karena kanker rahim. Demikian pula yang lainnya yang terlalu panjang untuk saya ceritakan.

Tapi jangan khawatir, saya tetap berusaha untuk bisa hidup lebih lama. Saya juga sedang berusaha mencari jalan untuk berhenti berhubungan dengan laki-laki itu. Makin lama dirasa, saya pikir dia memang hanya butuh badan saya. Mungkin sudah sejak awal demikian, saya saja yang bodoh berpikir bahwa dimatanya saya terlihat cantik. Krisis wanita di usia pertengahan demikian ilmu psikologi menerangkannya. Sampai akhirnya saya menyadari, betapa saya hipokrit, lemah dan kekanak-kanakkan. Bukannya saya menerima bahwa siapapun perempuan di dunia akan redup seperti bolam lampu oleh usia. Sebaliknya saya berusaha tinggal di raga masa lalu, dan berusaha meyakinkan keyakinan semu itu dengan mencari pendapat dari laki-laki yang otaknya ada, dua di kepala dan penis. Tentu saja dia bilang saya cantik dan menarik, karena dengan saya maka ia tak perlu membayar untuk kenikmatan sesaat plus bebas dari penyakit yang bisa diperolehnya dari perempuan di kafe. Saya memang memilih untuk bodoh saat itu, memilih membuat keputusan dengan nafsu dan bukan dengan hati. Hanya untuk menjauhkan diri dari rasa sendiri, rasa tidak diinginkan.

Saat ini saya sedang berada di tengah-tengah lapangan, ada kamu dan laki-laki itu. Dan saya yang sebentar lagi mati karena dimakan penyakit. Laki-laki itu entah apa yang dipikirkannya, saya tak peduli. Kamu, membuat saya merasa ingin cepat mati, dengan tatapan khawatirmu. Seakan saya ini boneka kaca yang mudah pecah. Andai saja minuman soda ini racun tikus, sudah saya minum habis dari tadi. Entah kenapa tiba-tiba saya lupa wajah anak-anak. Seperti apa mereka? Sedang apa mereka?

bizzare love triangle

Thursday, October 04, 2012

Suatu saat nanti...

Some day, when I'm awfully low,
When the world is cold,
I will feel a glow just thinking of you
And the way you look tonight....


Suara tony bennet mengalun merdu dari sound speaker di sudut. Pelayan bar itu, sudah bukan yang dulu, yang selalu hafal apa yang saya pesan, pina collada. Namun keramahannya masih sama, menyatu dengan kehangatan bar bergaya vintage ini. Bar itu terletak di tepi pantai, yang dulu sering kau datangi dengan saya. Yang merekam semua kenangan kita berdua, di lantainya saat kita berdansa. Saat semua masih bahagia, masih bersemu merah jambu, masih berbunga-bunga yang baru saja mekar. Entah mengapa saya masih tersenyum saat mengingatnya, dan saya masih bisa merasakan rasa yang sama saat itu, sekarang.

Yes you're lovely, with your smile so warm
And your cheeks so soft,
There is nothing for me but to love you,
And the way you look tonight.
Ini pantai kesukaan kita berdua selain pantai dengan kanopi hijau sebagai jalan masuknya. Pasir pantai ini, yang putih berbutir merica, pernah sering kita tulisi dengan nama kita berdua, dengan sepotong ranting,  di tengahnya, sebuah gambar hati yang besar. Sebesar cintaku padamu, kata gombalmu waktu itu. Meskipun saat itu saya tidak menganggapnya gombal, dan saya yakin kamu bisa melihat semu merah jambu yang menjalar di pipi saya.  Lalu ombak besar datang menghapusnya. Saat itu saya tak pernah membacanya sebagai suatu tanda. Seandainya saya bisa membaca tanda itu, saya akan mengajakmu melukis nama kita di batang pohon kelapa di tepi pantai, lengkap dengan gambar hati, yang dipahat besar-besar. Agar ombak tak mampu menghapusnya, agar panas tak kuat memudarkannya. Di sebongkah kayu yang ujungnya sudah lapuk kita biasa duduk, setelah capai berlomba lari di pasir yang selalu menenggelamkan kaki kita sampai semata kaki. Batang kayu ini sungguh romantis, karena lapuk ujungnya, ia membuat saya dan kamu duduk berhimpitan di atasnya. Tadi saya mencoba mencari batang kayu itu. Bodoh, kutuk saya pada diri sendiri, saat sadar tentu saya batang kayu itu sudah hancur diremas panas dan ombak. Bukankah itu setahun yang lalu, saat kita duduk di sana.
With each word your tenderness grows,
Tearing my fear apart
And that laugh that wrinkles your nose,
It touches my foolish heart.

Di atas batang kayu itu, saat wajah saya dihiasi titik keringat, dan muka saya kemerahan terbakar matahari, kamu bilang saya sexy sekali. Dan saat senja dengan sinarnya yang genit kejinggaan menerpa wajah kita, kamu dengan sama genitnya mencuri cium di pipi. Ketika itu saya tahu bagaimana rasanya sexy, seperti yang kau ucapkan. Senja kejinggaan, pipi yang kemerahan, keringat yang menetes dan jatuh dari ujung rambut, dan ciumanmu adalah sexy. Kemudian sejak senja kejinggaan dan ciuman itu, saya merayumu untuk mengganti minuman kita. Jangan pina collada, mulai sekarang kita minum tequilla sunset. Supaya kita tetap sexy, bisik saya dalam hati, dan seperti biasa, kamu selalu menyetujui apa pun ingin saya, waktu kau melihat saya begitu gembira. Lalu ciuman yang lain, kali ini kamu tidak mencurinya, tepat saat mentari mengecup batas cakrawala.

 
Lovely, never, ever change.
Keep that breathless charm.

Mungkin kamu masih ingat ketika saya, saya memekik lirih saat menginjak kakimu, ketika pertama kali mencoba berdansa. Sungguh saya malu tidak bisa berdansa, namun kamu sabar sekali memimpin langkah saya mengikuti alunan "The way we look tonight". Menatap saya dengan cara yang aneh, antara rasa lucu dan gemas. Lalu saya bagai bayi yang sangat bahagia karena kenyang oleh susu, meletakkan dengan pasrah kepala saya di pundakmu. "there is nothing for me but to love you" bisikmu di telinga saya. Pernah tersirat bahwa rasa itu akan berlangsung selamanya. Selama lagu "the way you look tonight" ini masih terputar. Selama tequilla sunset masih bisa diracik oleh bartender, selama matahari selalu mengucapkan selamat tinggal pada pasir tepian pantai. Sekarang saya sendiri memegang segelas pina colada, karena saya pikir saya tidak sexy lagi. Berdua dengan Tony Bennet dan "The way you look tonight" nya , di bar yang sama seperti setahun yang lalu. Menari solo, dan entah mengapa saya merasa bahagia. Saya percaya kamu ada di sudut sana, di dimensi yang lain dunia ini, tengah menatap saya dengan tatapan percaya dan bangga, bahwa saya dapat menari sendiri, setelah setahun berlalu.  


There is nothing for me but to love you







Saturday, September 29, 2012

Melipat Senja

Siang-siang begini seharusnya saya tidak ingat kamu. Kamu seperti mentari, hangat, namun dapat membakar jika terlalu lama dirasa. Hujan saja enggan turun di teriknya hari ini. Tapi tetap saja saya mengingatmu. Pohon-pohon yang berjajar di sepanjang jalan ini masih sama hijaunya seperti pernah kita lalui dulu. Tunas-tunasnya yang hijau muda, dulu pernah sama-sama kita kagumi. Saya sering terpukau melihat gagahnya ranting-ranting pohon yang menjulang, dari kiri dan kanan, lalu ujungnya bersatu di tengah-tengah, membentuk lengkung raksasa, seakan menjadi kanopi jalan. Mengiringi perjalanan kita menuju ke pantai.

Menikah melewati jalan ini, dulu pernah saya impikan, supaya saya tetap bisa mendongak dan menikmati indahnya kanopi hijau, di atas mobil yang melaju pelan. Kemudian kamu menggenggam tangan saya erat, dan mengeluh kalau saya tidak sedang mendengar ceritamu dan lebih terpukau pada pohon-pohon itu. Cemburu, katamu. Saya terkekeh, bagaimana mungkin kamu cemburu pada pohon?  Atau karena pohon tak bisa bicara? Seperti saya yang selalu setia mendengarmu. Bagaimana rasamu tentang ini sekarang? Apakah masih sama seperti dulu?

Tadi di hijau toscanya air pantai, saya melihat bayangmu, terpantul di sana. Begitu jelas, lalu tersapu oleh buih putih gelombang, yang lari berkejaran. Dulu kita pernah berjanji, bahwa hati kita tidak boleh sama seperti ombak yang saling berkejaran. Ternyata saya memang tidak mampu berkejaran denganmu. Kamu terlalu cepat berlari, jauh di depan saya, mengejar impian-impianmu. Membuat jadwal-jadwal ketat, membuang yang lama mengganti yang baru. Sementara saya lebih suka berjalan pelan, menikmati segala yang ada, menyimpan yang berkesan, mensyukurinya. Kamu senang melakukan yang berbeda dengan pasir-pasir di pantai, membuat tulisan, kastil, mengubur badanmu sendiri, sementara saya lebih suka membaca buku sambil menikmati sejuknya angin pantai dan lembut pasir pantai. Lalu kita mulai sering bertengkar, untuk hal-hal sepele yang sebenarnya bisa kita rundingkan. Sampai suatu saat saya melihat bahwa kita seperti ombak di pantai itu, beriringan berkejaran namun tak pernah bertemu. 

Rasa itu bukan rasa marah, tapi rasa lelah. Lelah yang saya rasakan karena lebih dari cinta, bukan karena tak cinta. Lebih dari cinta membuat saya merasa rela. Rela membiarkanmu berlalu, mengejar semua mimpi. Lebih dari cinta, membuat saya tetap di sini, menemani dengan doa seorang sahabat semoga kelak kita berjumpa. Mungkin sunset bar adalah tempat yang sempurna untuk berjumpa lagi. Duduk berdua, di kursi tinggi yang memang hanya untuk berdua, di tepi pantai. Dua cangkir kopi, latte, kesukaan kita berdua, memandang mentari yang turun perlahan di batas cakrawala, menjadikan langit menjadi kejinggaan. Dahulu kadang saya melihat warna ungu di sana, yang tidak dapat kamu temukan. Lalu kamu  berkata, itu karena saya suka ungu, ungu itu tidak ada di sana. Saya pun terdiam, mungkin memang kita tak bisa melihat sesuatu dengan sama. Saya akan menyeruput kopi sembari mendengar kisah-kisahmu di antara suara deburan ombak. Sebelum mentari selesai mengucapkan selamat tinggal pada tepian pantai. Sebelum malam melipat senja, satu untukmu satu untuk saya. Saya akan terus mendengarmu, mengagumi kisahmu, sampai kita berjumpa lagi di kehidupan yang lain.


Wednesday, September 26, 2012

Hadiah dari sinterklas

1 September 2012 ada kado natal dari sinterklas. Mungkin sinterklas tahu bahwa kami sangat membutuhkan hadiah jauh sebelum natal tiba. Untuk memberikan lengkung senyum di bibir kami yang lama terkatup sedih. Untuk memberikan binar di mata kami yang lebih sering sembab karena terlalu banyak menangis. Di tengah duka kehilangan yang sedang mendera, sinterklas diam-diam meletakkan bayi mungkil itu di sana. Di bawah pohon natal, yang belum dihias, tidur dalam wajah damai. Persis bayi Yesus yang baru lahir digambarkan dalam alkitab orang nasrani, namun tanpa kerlap-kerlip lampu natal. Sebab Desember masihjauh. Andina Kirana Larasati, begitu kami menyebutnya. Sungguh, saya jatuh cinta pertama kali melihatnya. Terbalut baju bayi berwarna putih yang kebesaran. Matanya masih belum bisa melihat, masih belajar bernafas. Damai terpancar di wajahnya.
Hari demi hari kado dari sinterklas itu tumbuh dengan cepat. Bagai bunga matahari yang cantik, kuningnya memendar ke sekelilingnya. Siapa pun turut berkilau cahaya kekuningan saat berada di dekatnya. Kado natal dari sinterklas itu tidak saja membuat hati saya seterang sinar mentari, tapi lebih dari itu saya merasa bahagia di dekatnya. Ini bukan rasa bahagia seperti kalau kau mendapat hadiah undian, atau saat hari libur tiba setelah penat bekerja. Ini adalah rasa bahagia seperti saat kau melihat matahari terbit dan terbenam, seperti saat pelangi di rintik tipis air hujan muncul di sudut langit, dan kau melihatnya. Mungkin Tuhan sengaja meletakkan malaikat di hatinya, untuk kami yang memang membutuhkan penghiburan. Dua mata jernih itu bagai telaga, sehingga hati kita yang lelah terasa sejuk hanya dengan memandangnya. Harum tubuhnya bagai hutan yang baru saja disiram hujan yang deras, kemudian reda, dan disinari sinar mentari. Beraroma dan hangat, membuat kami ingin terus memeluknya dan merasakan lembut kulitnya.

Saat hujan gerimis di luar, dan hati saya sedang berwarna tak karuan, kadang-kadang saya melihat kembali gambarnya, hanya untuk mengingatkan saya bagaimana senyum lebar tanpa giginya itu mampu menorehkankan warna merah jambu di hati saya, dengan bunga-bunga  hiasannya. Kini setahun sudah usianya, dengan gigi dua di atas, dua di bawah dan rambut jarang-jarang. Ia bagaikan karya seni yang sedang dibentuk oleh seorang maestro. Saya percaya ia kelak akan menjadi yang terbaik, hatinya terutama. Di dunia yang sudah semakin kacau, di mana orang memilih berotak pintar daripada berhati baik, dunia perlu lebih banyak manusia berhati baik dan tulus. Doaku ia akan menjadi salah satunya.

Kini, kado dari sinterklas itu sedang belajar menapaki permukaan tak bertepi. Sepeda untuk belajar jalan sebagai penopangnya. Sungguh lucu melihat ia mencoba berjalan. Tertatih-tatih mendorong sepeda berjalannya, lalu menyerah dengan cara yang membuat saya tergelak. Menjatuhkan diri lalu meracau dengan bahasa yang tidak berarti, tapi saya tahu, ia sedang berusaha berkata, saya capai dan ingin istirahat. Apa yang dilakukannya seolah mengingatkan saya, bahwa kadang saya perlu untuk mengambil waktu istirahat sejenak saat pikiran sudah sangat kacau, ketika waktu untuk diri sendiri sudah terampas kesibukan duniawi.

Saat pohon natal kerlap-kerlip, 25 Desember tahun ini, kado sinterklas itu perlahan tumbuh menjadi manusia kecil. Masih belum sempurna tumbuhnya sebagai manusia. Namun sinarnya masih kekuningan menyinari setiap hati yang berada di dekatnya. Saya yakin kelak siapa pun di dekatnya, dapat merasakannya seperti sebuah kado dari sinterklas, bukan di hari natal.


Tuesday, September 25, 2012

Bukan tentang secangkir kopi

Ini bukan tentang secangkir kopi dan kenangan. Tentang itu sudah berlalu. Berlalu dari pikiran lebih tepatnya, bukan dari hati. Senja ini, seperti senja-senja yang selalu saya lihat dari balik jendela kamar. Selalu jingga, namun senja kali ini agak berbeda. Ada warna kelabu di sana. Beberapa saat yang lalu mendadak hati saya turut merasa kelabu. Kelabu sedikit biru. Lalu saya tahu, nama perasaan ini adalah rindu. Rindu kamu. Sabtu yang lalu, seharian kita bersama, dan bagi saya itu adalah hadiah terbaik dari Tuhan untuk hati saya.

Apa yang kau rasakan, jika kau tahu bahwa engkau adalah hadiah terindah bagi hati orang lain. Mungkin dalam keseharian, kita tidak pernah menyadari, bahwa kehadiran kita adalah hadiah bagi orang lain. Kita hanya membiarkannya berlalu, lalu lebih memusatkan diri pada perasaan-perasaan tidak mengenakkan hari itu yang kita rasakan. Kita mengijinkan orang-orang yang menguras energi kita menguasai hati dan pikiran sampai menjelang tidur. Mengabaikan mereka yang menjadikan kita pusat dari semestanya. Melupakan mereka yang menganggap kita adalah kado yang istimewa.

Sepertinya kamu memang tidak tahu bahwa kamu adalah hadiah bagi hati saya, Sabtu itu. Kamu tidak perlu tahu, begitu juga saya tidak perlu tahu apakah kamu merasakan saya sebagai hadiah bagi hatimu. Saya lebih suka menikmati perasaan ini, daripada harus membaginya denganmu. Biar ini menjadi rahasia hati kita, karena rasa tidak harus selalu diungkapkan, cukuplah dinikmati.

Rasa nyaman saya Sabtu kemarin adalah kamu, dan saya tidak ingin mengingkarinya. Tidak seperti kata-kata pengingkaran yang biasa saya ucapkan kepada mereka yang menanyakan hubungan kita. "Hanya teman", begitu biasa saya bilang. Padahal hati saya bersemu-semu merah jambu. Lalu Sabtu yang lalu, saya berada di sana berlagak  tak peduli, sesungguhnya saya sedang membiarkanmu mengisi hati saya. Dan ketika semua berlalu, baru saya nikmati rasa penuh itu, sendiri. Mungkin Sabtu itu, di luar sedang senja jingga, kelabu, kebiruan.

Di jingga senja ini, saya melihat biru dan semakin lama semakin ungu. Ungu yang tipis, seperti disapukan oleh kuas yang terlalu banyak air. Mungkin ini warna untuk rasa yang terkubur lama. Namun biarkan saja, karena ungu itu warna yang saya suka. Seperti saya menyukai warna ungu, saya menyukai rasa ini. Saya menyukai bagaimana kamu mewarnai hati saya, hari Sabtu itu.






Friday, November 19, 2010

Kiss the Rain